Ulasan Film: Mama-Mama Jagoan

 


Sumber: pribadi



Sebelum masuk ke ulasan, aku mau bilang bahwa tulisan ini gak berisi sinopsis Mama-mama Jagoan. Atau keterangan lengkap mengenai tim produksi. Ini lebih ke unek-unek aku aja. Jadi, lebih baik nonton dulu filmnya baru baca tulisanku, ya, biar ga spoiler. Heheheheheheeheheheheh.

Well, aku benci pada sesuatu yang tidak bisa kutemukan celah untuk kukomentari. Film yang ceritanya dibuat dan disutradarai oleh Sidi Saleh ini bagiku terlalu bikin hanyut; bikin ketawa, bikin nangis, bikin nangis sambil ketawa, bikin ketawa sambil nangis. Film ini--bagi awam sepertiku--terlalu bagus, baik dari segi cerita (termasuk penokohan dan pengaluran), visual, detail, penempatan lagu latardan tentu saja dari kualitas pemeran utamanya. Ya, iyalah, Widyawati, Ratna Riantiarno, dan Niniek L. Karim, gitu! Ya, kan?! 

Tapi, tapi, tapi, jiwa tukang komen emang gak bisa diredam. Hasrat mulut gatel gak bisa dilawan. Walaupun aku sendiri merasa komentarku ini cukup receh, sih. Yang TAPI, cukup mengganggu buatku pribadi. Walaupun aku juga belum tentu, sih, bisa bikin cerita yang bagus, acting yang bagus. Apalagi ngerti soal persinemaan. Kendati demikian, ada beberapa hal yang bisalah dikomentarin dari segi cerita. 

Yang pertama ketika Nadia--yang diperankan oleh Nadine Alexandra--ketemu Ibu Hasnah di cafe. Apa, ya? Kurang greget, gitu. Nadia kayak kurang responsif dengan kehadiran Ibu Hasnah, yang bisa dibilang ibu-ibu... berjilbab... sendirian... masuk ke cafe... yang cafenya gak nyediain lemon tea tanpa alkohol... Kayak... apa, kek. Lebih ekspresif, kek. Bahkan "buru-buru"nya dia itu gak kayak lagi buru-buru. Why, Nadia, why

Juga mas-mas bartender--yang diperankan oleh Jerinx SID--agak aneh gitu. Dia udah liat, nih. Ada ibu-ibu di depannya, berjilbab, minta lemon tea, terus riweuh sama ponselnya. Pertanyaanku, kenapa gak ditawarin air mineral aja, gitu, kan? Ya, gak, sih?! 

Aku gak ngerti. Apa sengaja dibuat seakan-akan menggambarkan atau mengkritik anak muda masa kini; yang kurang peka dan responsif dengan keadaan sekitarnya, apa gimana, gitu, ya? Tapi, ya iya, tentu aja, adegan di cafe ini jadi jembatan akhirnya Ibu Hasnah dibawa ke markas alat-alat surfing itu, yang nantinya diketemukan dengan Monang. Iya, iya, oke fine. 

Terus juga adegan ketika Monang bangunin Ibu Hasnah itu. Ini bagiku terlalu kebetulan yang amat sangat kebetulan. Jadi gini, ya. Iya, sih. Emang bener, Monang ini dari awal seneng surfing. Tapi tingkat kemungkinan Monang akan ke markas surfing yang si bartender bawa Ibu Hasnah ke situ kan 1 banding banyak. Ya, gak, sih? Ini ganggu aja, gitu. Tapi karena sudah dijawab langsung oleh Mas Sidi terkait hal ini pada saat sesi diskusi, sudah cukup tenang, lah, aku. 

TAPI, kejadian Monang ketemu Ibu Hasnah di markas surfing ini serta-merta langsung luruh begitu aja ketika akhirnya Ibu Mirna ketemu anaknya itu. INI GILA BANGET!! Gak ngerti lagi, akutuuuuu. Langsung banjir air mata!! Lupa sudah atas kejadian si Monang tadi. 

Tapi emang dasar ini! Ampun! Masa lagi haru-harunya, bisa-bisanya itu Ibu Hasnah nyeletuk "jangan pingsan..." Dibuatnya ketawa aku. Tapi sambil nangis! Coba! 

DAN KEMUDIAN, dihajar lagi aku sama adegan Ibu Dayu ketawa soal bikini itu! Gila! Capek banget, sungguh! Abis nangis ketawa, abis ketawa, nangis lagi. Dari awal film loh, tolong! 

Dan soal TIGA DARA yang menjadi pemeran utama, kayaknya asli ini aku gak bisa komentar apa-apa. Segitu naturalnya, segitu mendalaminya. Seindah itu! Seasyik itu! Semengagumkan itu! Aku bukan pengikut setia film-film tiga dara itu, jadi emang gak bisa komentar banyak. Tapi buat film ini, bisa kali ya pinjem jempol orang sekampung?! 

Mungkin karena "rasa" cerita Mama-mama Jagoan ini menekankan pada energi ibu-ibu dan juga bapak-bapak 50 tahun ke atas. Jadi, mereka full power banget mau ngasih lihat bahwa "kami juga bisa senang-senang, loh. Kami juga boleh, loh, berekspresi, mencurahkan perasaan dan energi kami."  Dan, ya, hasilnya memang gak main-main. Jadi ini ceritanya aku benci sekaligus jatuh cinta banget sama film ini.

Eh, tapi ada satu lagi, deng, yang bikin gemes dan kepikiran. Itu, kok, suaranya Om Patra apa Om Parta itu, kok, suaranya kayak masih muda banget, ya? Bikin salah fokus. Mana ganteng. Mana cocok banget sama stylenya Ibu Dayu. Huft. Sampe jadi mikir, lucu kali ya, kalo ntar aku sudah nenek-nenek kakek-kakek, gayanya kayak anak kuliahan aja gitu, terus. 

Heheheheheheeheheheheheheheheheheheheheheehehehehehehehehehehehehe
hehehehehheeeheheheheheheheheheheheheheheeheheheheheheh





Sekar Ayu Tantri
Jakarta, 11 Desember 2018
katyasekar@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pangeran dan Permennya

Koteka

Ulasan dan Kritik Buku: Dua Tanda Kurung | Puisi dalam Puisi Kehidupan Handoko F. Zainsam