Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2014
"Jika saja kamu membiarkan saya pergi, maka saya akan pergi. Tetapi kamu tidak begitu, maka saya tetap di sini." Ah, andai saja nona yang tadi barusan itu mengerti cara bermainnya waktu.
Mengapa, Sayang? Sayang, mengapa? Mengapa sayang? Sayang mengapa?  Bukan! Mengapa kamu?  Itu!!
Tidurlah!  Biarkan bunga tidur merekah dengan brutal dan tidak tahu diri.  Biarkan ia berlari membabi buta, Jangan ingatkan tentang lelah dan biarkan ia berhenti dengan sendirinya! Jangan biarkan bunga tidurmu lelap nyenyak! Nyatanya, suatu hari nanti --entah kapan-- , pada akhirnya ia akan lelap nyenyak dan membiarkan matahari membangunkan sesosok nyata dalam keadaan bugar kemudian tersenyum ceria . Mari doakan saja agar ia selalu sehat dan dalam keadaan bahagia.

Pada Kotak yang Kutemukan Sore Tadi

Usang. Debu di situ dan di sana. Begitulah gambaran sebuah kotak yang kutemukan sore tadi di kamar seseorang yang bisa jadi adalah penulis surat yang kutemukan suratnya di dalam kotak-yang-kutemukan-sore-tadi itu. Atau bisa jadi seseorang yang menerima.  Atau bisa jadi siapa saja. Pada kertas yang tidak lagi baru, kekuning-kuningan, dan tinta hitam kebiru-biruan. Kepada ibu, Saya tidak sedang berniat menulis panjang lebar, Bu. Maaf jika pada akhirnya surat ini terasa panjang dan sangat melelahkan bagimu. Saya tahu pasti kamu mengenal saya, tapi saya tidak mengharapkan hanya sekadar begitu, Bu. Saya ingat betul, sering kali kamu mengucapkan kalimat itu berulang kali. Selain tentunya memberi wejangan-wejangan yang mungkin serupa dengan wejangan para ibu lainnya. Seperti, jaga diri kamu baik-baik, jangan sampai menyesal kemudian hari. Saya ingat betul, Bu. Kamu biasanya mengucap itu jikalau saya melakukan kesalahan. Omong-omong, salah atau betul sesuatunya itu hanya kepalamu l

Pukul Lewat Tengah Malam

Pada pukul lewat tengah malam, angin riuh mencumbui kota malam ini, meraba debu-debu dengan cara halusnya. Halus sekali. Sampai tidak terdengar desah napasnya.Bayangkan, saking halusnya. Tidak terbayang seberapa tersinggungnya pepohonan yang tadinya tenang, dibisiki tiba-tiba dan segera saja diajak dansa oleh titik-titik air yang membawa botol-botol martini pada pukul lewat tengah malam begini. Pada pukul lewat tengah malam, lampu kota bahkan sempat disinggung sedikit oleh halilintar yang merasa dirinya lebih perkasa. Mengakunya mereka hanya bercanda. Tapi lampu kota marah luar biasa. Berharap saja tidak menjadi murka. Bintang sempat menggedor pintu rumah si bulan. Ia terlelap nyenyak, kata ibunya. Sempat tadi ia menitip pesan pada ibunya itu untuk tidak mengganggunya. Bintangpun kecewa, ia kembali ke peraduannya sendiri; mencari ketenangan baginya. Pada pukul lewat tengah malam, saya menyempatkan diri memungut reremahan doa yang sempat tercecer saat makan malam tadi. Berharap,

Mari Minum Kopi

Ada banyak kisah di balik jendela-jendela berembun ketika penghujan Terserah pelukisnya, kan? Kamu yang berkata demikian, kemudian hilang tanpa jawaban Saya anggap kamu sebagai salah satu pelukis jendela-jendela berembun tadi Jadi, terserah kamu saja, bukan? Lalu ini akan menjadi apa? Sekadar buih pada kopi yang lantas hilang? Atau menjadi ampasnya yang kemudian dibuang? Saya senang minum kopi, apalagi sambil duduk bersama kamu Memang kisah masa lalu, ketika pertengahan penghujan waktu itu  Tapi saya bukan kopi, bukan buih, bukan ampas, atau pun asapnya Saya adalah salah satu pelukis jendela-jendela berembun ketika penghujan, dan tetap akan begitu meski kemarau duduk bersama kita; menyesap kopinya Saya adalah salah satu pelukis jendela-jendela berembun ketika penghujan Jadi, terserah saya saja, bukan?  Mari minum kopi, meski kamu tidak lagi menemani