Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2013
Cerminku bodoh sekali! Dia pikir dengan bicara tidak sepatah katapun dapat menyelesaikan masalahnya. /Ada di mana diam bisa lebih bak, tetapi selebihnya tidak/
Cuma kosong-kosong saja malam ini. Mata kosong. Omong kosong. Tulisan kosong. Serba kosong. Kosong kosong kosong kosongkosongkosong. Makin tidak bermakna. Lama-lama hilang.  Saking tidak pentingnya, siapa yang tahu kalau kekosongan tadi sudah pergi?  Tapi ini rasanya masih kosong. Amat kosong malahan.  Paling tidak saya butuh angka satu, satu saja untuk mengisi kekosongan ini.

Serius Sebentar

Ani, Ana, Ami, Tuti, Budi, Banu --nama yang kerap keluar dalam pelajaran bahasa indonesia ketika zaman sekolah dasar waktu itu. Haha. Saya lupa pernah mengalami masa-waktu-itu. Apel, jeruk, mangga --bebuahan yang sering sekali muncul dalam pelajaran matematika ketika saya belajar berhitung dulu. Haha. Saya hampir lupa rasanya masa-dulu itu bagaimana. Hachi, Tsubasa, Hamtaro, Cibi Maruko-chan --dulu itu sering sekali dibicarakan pagipagi sebelum masuk sekolah dengan temanteman saya. Haha. Rasanya aneh, tibatiba rindu masa kecil ketika bahagia dengan masa besar (tapi dari dulu badan saya emang gak pernah kecil, sih. Selalu aja lebih besar dari teman-teman yang lain) Atau sebenarnya, yang sekarang ini hanya purapura bahagia atau berusaha terlihat bahagia, atau maksa berbahagia? Ah, persetan lah, ya! Emangnya kalau saya gak bahagia, kehidupan bisa diputar ke zaman-yang-dulu-pernah-terlewati? Toh badan saya gak akan jadi kecil. Kemudian saya justru bahagia dengan kenyataan itu.
     Pagi itu seseorang menumpahkan bebutiran gula saat membuat secangkir teh entah untuk siapa.      Aku tidak peduli. Dari bawah pintu aku hanya mengintip tanpa berniat sedikitpun untuk membenahi.      "Ah..." desah pasanganku.      "Oh..." susulku.      Begitu terus kami sahut-menyahut di tengah perburuan birahi.      "Jalang! Busuk! Keparat!" tibatiba ada yang berseru di belakang kami.      "Ratu meminta kita mengangkut persediaan makanan, kalian malah membuat keributan di sini!" bentaknya lagi.      Malas-malasan pasanganku turun dari tubuhku. Aku mendengus keras sekali di depan wajah Si Pengganggu. Kemudian kami bergabung dengan temanteman lain mengangkut gulagula tadi ke istana.      Ah, sialan!
Saya merindukan mendung yang hidup sendiri tanpa kekasih Mendung tanpa nama belakang; hujan
Dia itu (tadinya) gagah. Betul. Aku tidak bohong. Dia itu (awalnya masih) kokoh. Betul. Masak aku bohong? Dia tidak berharap diperhatikan. Kalaupun berharap, memangnya ada yang memperhatikan? Lagipula, memangnya dia punya hati? Kalaupun punya hati, memangnya siapa yang peduli? Asap-asap kendaraan mungkin (pernah terpikir untuk) peduli. Tapi lalu bisa apa? Toh selama ini datang lalu cepat pergi. Sampahan rokok yang terlepas dari puntungnya mungkin (pernah meniatkan diri untuk) peduli. Tapi bocoran hujan cepat-cepat menyapunya lagi. Dia masih kekar, tapi tampak lesu. Dia masih (sedikit) tampan, tapi tampak sakit. O... meski begitu, dia masih juga rela diinjakinjak. Padahal belum tentu dia diberi gelar pahlawan. Pahlawan, si-baik-hati, atau apa lagi namanya. Memangnya dia peduli? Tidak! Sayang disayang oh jembatan penyebrangan.
Kue tinggal sepotong, jangan diam terus! Bicaralah atau nanti kau kumakan. Mau? Biar tahu rasanya dicueki itu bagaimana. Iya iya iya. Mana pernah sih kamu dicueki orang? Kamu diam saja seperti itu pun, ada saja yang menghampirimu, bermanja-manja, dan berkasih-kasihan. Hei kue tinggal sepotong, jangan diam begitu! Lama-lama habis kesabaranku kalau kesabaranku sudah habis. Mengerti tidak maksudku? Iya begitulah, pokoknya.  Hei kue tinggal sepotong, jadilah yang terakhir untukku, ya. Hanya aku dan tidak pernah aku bermaksud untuk berbagi dengan yang lain. Cepat hubungi aku ya, kue tinggal sepotong! Aku rindu kamu.

Jadi Soal

"Tadi absen, absen?" "Iya." "Jadi berapa yang gak masuk?" "Masuk semua." "Lho, tadi kata lu Absen absen?" "Ya justru karena dia absen, jadinya masuk semua." "Baiklah..." /Segelintir percakapan konyol dengan Galih Izzatunisa/

G-string

Kamu pernah merasakan sesuatu-entah-namanya? Perasaan itu selalu sukses membuat kamu bertanya-tanya, perasaan apa ini. Perasaan itu justru semakin membingungkan ketika kamu makin mencari jawabannya. Iya. Saya setuju sama kamu: perasaan kayak gitu memang bikin ngganjel. Iya, persis g-string, kan?

Emangnya?

Gambar
Aku lupa kapan pertemuan pertama kita Tapi bisa jadi, kita belum ada apa-apa Lalu kemudian, jadi ada apa-apa Memangnya ada apa? Ada kamu dan saya Selain itu?  Boleh tidak, kalau kusebut cinta? Um, boleh Tapi, jangan deh. Anggap saja tidak ada Memangnya kenapa? Kalau ada apa-apa, bukan cinta lagi namanya Gambar oleh Henry C. Widjaja

Kalender

Masih Desember dan masih tetap hujan Kemudian air-air yang meriak di jalan Kemudian kaki-kaki yang berkecipak di halaman Kukira Januari bisa datang lebih lambat Kukira Februari dan kawanannya lupa pada jadwal yang menenggat Lalu apa yang bisa kuharap dari waktu-waktu yang terus menyengat? Berharap aku tidak pernah mengenal kalender Aku benci pada tanggal-tanggal yang gemar merangkak itu Hitam hitam lalu merah Lalu hitam, lalu merah lagi Terus saja begitu sampai akhirnya kalenderku habis Kemudian tahun berganti Hitam hitam merah hitam merah hitam Terus. Terus begitu Sampai akhirnya aku lupa, aku pernah membenci kalender

Kekasih Baru

Terima kasih lho, sudah sudi nemenin saya yang nggak tahu waktu. Terima kasih lho, sudah sudi cumbucumbuan sama saya. Terima kasih lho, sudah sudi saya ganggu tiap malammu yang tenang. Pokoknya terima kasih, ya. Kepada segelas-susu-coklat-hangat-di-malam-dingin-begini.

Suatu Hari...

"Saya ke warung sebentar." "Mau jajan apa?" "Tangis." "Lho..?" "Kalau kamu mau makan, ya kamu beli makanan." "Hubungannya?" "Kamu tahu jawabannya."

Kucari Kamu

Kamu tidak tahu karena saya memang tidak pernah mengatakannya. Kamu tidak tahu karena memang apa perlunya kamu tahu.   Kucari kamu dalam setiap malam Dalam bayang masa suram Kucari kamu dalam setiap langkah Dalam ragu yang membisu Kucari kamu dalam setiap ruang Seperti aku yang menunggu kabar dari angin malam Aku cari kamu Disetiap malam yang panjang Aku cari kamu Kutemui kau tiada Aku cari kamu Di setiap bayang kau tersenyum Aku cari kamu Kutemui kau berubah Kucari kamu dalam setiap jejak Seperti aku yang menunggu kabar dari matahari (Kucari Kamu - Payung Teduh)   Kucari Kamu via soundcloud  

Kodrat (?)

Kepada daun-daun yang enggan gugur, memangnya apa yang salah dengan tanah? Apa? Terlalu licin katamu? Terlalu dingin katamu? Aku tidak salah dengar, kan? Benar bukan tadi kamu berkata demikian? Kepada ombak-ombak yang enggan pecah, memangnya apa yang salah dengan karang? Katamu tadi terlalu angkuh? Katamu tadi terlalu sombong? Kamu yang salah bicara atau aku yang salah dengar? /Apa kita bisa menjadi lain dari apa yang sudah dikodratkan kepada kita?/

Omong-omong

"Bukan begitu intonasinya." "Emang aku tadi kayak gimana?" "Kamu bilangnya jadi koma jadian tanda tanya." "Harusnya?" "Jadi strip jadian titik." "Oh. Jadi, gak jadi jadian?" "Bukan gak jadi, tapi ditunda." "Pinjam korek."

Metafora(-metaforaan)

Jadilah seperti RRI yang jarang banget muterin lagu,    tapi sekalinya muterin lagu, enaknya ampunampunan. Begitu juga dengan kisah perkasihan kita.    Gak usah seringsering hubunghubungan, biar sekalinya    berhubungan, momen indahnya nendang.

Saya Butuh Jamban

Kadang saya nanya-nanya sama diri sendiri. "Kok bisa? Kenapa? Harus gimana?" Selalu saja berakhir sama. Jawabannya sama. "Tai." Saya dikatain tai sama diri sendiri. Salahku. Memang salahku. Nanya sama yang gak tahu. Memang salah terus. Serba salah, kalo kata orang. Tai. Halah! Andai aja buang kebodohan kayak buang tai. Andai aja bikin hati saya peka semudah saya buang tai. Buang tai, buang tai, buang tai. Di manamana tai. Di sana tai. Di sini tai. Marahmarah ujungnya bilang tai. Sedihsedih ujungnya bilang tai. Becandabecanda ujungnya bilang tai. Kan?! Apa saya bilang! Tai merajalela!! Kata tai, "ha-ha-ha".

Muter-muter

Mau ngomong aja bingung. Ruwet. Njlimet. Penginnya sekali tatap langsung ngerti. Paham. Khatam. Ya kali? Iya, kali. Emang gak bisa? Emang gak bisa. Terus gimana, dong? Gak tau. Ruwet, kan? Njlimet, kan? Halah, mutermuter. Padahal maksudnya sih, cuma pengin bilang satu. Masa gak tau? Itu tuh.. Aku suka kamu.

Orgasme

Menantinanti kabar dari kamu bikin saya geregetan banget. Bukan kesal.  Bukan sebal.  Cuma geregetan. Rasanya pengen langsung datengin kamu.  Terus peluk kamu. Terus saya pulang lagi.  Udah. Dengan begitu saja, saya sudah puas. Mungkin itu bisa jadi orgasme ternikmat dalam hidup saya.

(Karena dan Emang) Gak Penting

"Emang apa?" "Apaan, deh?" "Itu yang tadi." "Yang tadi yang mana?" "Masa lupa?" "Lupa." "Iiiiiih.." "Emang apaan, sih?" "Yang itu!" "Soal apa?" "...." "Ih, ditanya." "Ngggg...." "Apaan?" "Lupa juga." "...."

Nyanyi-nyanyi

Nyanyinyanyi di tengah waktu hampir fajar. Oh, belum. Masih ada puluhan menit lagi. Ah, tapi apa peduli. Hati masih asik nyanyinyanyi. Mana peduli waktu? Nyanyinyanyi di tengah waktu hampir fajar. Sendiri saja. Memangnya mau sama siapa? Yang penting nyanyinyanyi. Mana peduli sendiri atau beramairamai? Nyanyinyanyi di tengah waktu hampir fajar. Katanya saya kesepian. Ah, biar saja. Memangnya saya peduli? Saya senang nyanyinyanyi meski sendiri dan sepi. Nyanyinyanyi di tengah waktu hampir fajar. Sesekali menyeka air mata yang hampir menetas. Padahal buat apa? Memangnya ada yang peduli? Orang lain tahunya saya nyanyinyanyi. Biar saja.

Koteka

"Apa, sih?" "Apa sih, apa?" "Koteka." "Kok, TK?" "Apa, sih?" "Kotek, aaaaa!?" "Duh, apa lagi coba?" "Dibilang koteka." "Duh, apa sih kalian? Gak penting." "Terus?" "Bantuin saya pake ini." "Pake apa?" "Koteka." "Oooooo...."

Salah Fokus

Kata kiki kakakku kuku kaki kakek kakak kakekku kaku-kaku "Coba diulang." "Ah, repot!" "Serius." "Saya lebih serius." "Tolong sekali." "Ah, malas!" "Saya hanya ingin memastikan saja, apa benar nama kakakkmu Kiki." "....." "Eh, sebentar." "Apa lagi?" "Bukannya kamu anak sulung?" "....."

Lagi-lagi

Yang terbayang hanyalah hujan-hujan berguguran. Lalu kembang api sahut-menyahut riuh. Dan sosokmu. Ah, dingin. Dingin. Dingin. Dingin. Dingin. Dingin. Rindu.

Coba Tebak

"Aku pengennya, perasaanku persis kayak hukum III newton." "Apaan?" "Aksi sama dengan reaksi." "Halah, anak sastra sok-sokan ngomong fisika." "Eeeeeeh, biarin. Yang penting maksudnya tersampaikan." "Emang apa?" "Ngggg.... Ya gitu deh, pokoknya."

Desember

"Mari ngopi, mari bicara. Kamu boleh sambil ngeteh kalau mau." "Satu desember. Bicara. Kamu. Kopi panas. Lumayan." "Satu desember. Bicara. Kita. Hujan. Menarik." "Lucu ya. Tetiba ingin mandi hujan" "Dan air mata meng-hujan?" "Simpan sejenak air matamu untuk tiga puluh hari kedepan. Ini bulan sakral, sebelas bulan aku menantinya" *** Bulan sakral...  Mendung lalu gerimis kemudian hujan.  Natal lalu pesta tahun baru. Lonceng natal, cemara, terompet, dan kembang api. Tuhan pasti punya maksud lain menciptakan Desember selain sebagai bulan di akhir tahun.  Catatan pengarang: Segelintir percakapan antara saya dan seorang kawan, Dea Adhista, pada jejaring sosial.