Ulasan dan Kritik Buku: Dua Tanda Kurung | Puisi dalam Puisi Kehidupan Handoko F. Zainsam

dok. pribadi



Hiasan-hiasan kehidupan
Menjadi indah ketika menemukan pembalikan.
Kesadaran
Mata rantai yang tak terputus
-Handoko F. Zainsam


Membaca Dua Tanda Kurung karya Handoko F. Zainsam seperti membaca kehidupan. Penuh lika-liku dan rahasia. Buku ini menyimpan banyak misteri, seperti sejatinya kehidupan. Buku yang dibuat dari tahun 2002 hingga 2014 ini memiliki misterinya sendiri lewat tokoh-tokoh yang Handoko ciptakan. Alur kehidupan dibuat berbelit dan saling membelit.
Handoko pandai menyimpan rahasia kisah setiap tokohnya. Plot demi plot dikisahkan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan pertanyaan yang besar. Cukup menarik pembaca untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. 
Membaca halaman demi halaman, puisi demi puisi; seperti menyelami kehidupan kita sendiri. Handoko pandai membelah jiwa pembaca lewat puisi yang ia ciptakan. Puisi-puisinya seperti “tercecer” dan bertebar di tiap kata yang ia tulis. Sajak-sajaknya seakan mampu mengoyak jiwa. Cerita ini dibuka dengan sajak yang begitu dalam maknanya.


Inilah tetes-tetes terakhir saat hujan tiada.
Hanya bulir bening yang masih tersisa
di ujung daun. Menawarkan dingin paling hening

Tanpa angin dan matahari
Semuanya sujud dalam kesadaran
Akuku kini haruslah meniadakanmu


Sebagai pembaca, saya merasakan ketentraman dan kesakitan berada di ambang yang tipis jaraknya. Kata-kata yang begitu puitis, tanpa metafora  berlebihan dan memberatkan pembaca. Pada awalnya, saya mengira cerita ini adalah cerita percintaan yang begitu tragis.
Akan tetapi, kesan pertama memang tidak bisa membuktikan apa-apa. Seperti yang sudah disebutkan, Handoko pandai menyimpan rahasia cerita.  Tidak sampai hanya pada sajaknya, masuk pada paragraf pertama yang terasa seperti narasi liris.

Senja di Gunung Wilis terus mengolah warna. Merah, biru, kuning, berpadu mesra dalam komposisi warna yang seimbang. Atas kehendak alam, angin berayun perlahan membawa terbang kapas-kapas awan. Lukisan langit tak bedanya hamparan samudra yang diboyong ke atas.


Sangat berbeda dengan puisinya yang dijalin dengan kata-kata sederhana, Handoko justru menggunakan metafor-metafor yang terasa berlebihan pada paragraf pertamanya. Melalui untaian kata yang begitu berbelit, Handoko seakan ingin mengajak pembaca  luruh bersama karyanya.  
Ia tentu punya maksud tersendiri. Jika kita melihat dengan lebih jeli, pola cerita Handoko sudah tampak sejak awal. Pada sajaknya, kita menemukan hal-hal berbau alam yang sangat dekat dengan kehidupan: hujan, angin, matahari. Dan pada paragraf pertamanya itu kita menemukan sebuah kunci: kehendak alam.
Alam berarti kehidupan. Kehidupan berarti perputaran; perputaran waktu, bahkan perputaran kisah. Kisah manusia. Semacam lingkaran karma. Seperti sajak yang saya kutip pada pembuka, “mata rantai yang tak terputus” itulah yang ingin dikisahkan oleh Handoko. Dua Tanda Kurung adalah kotak harta karun yang berisi perjalanan manusia, perputaran waktu, persoalan jiwa dan hati, bahkan spiritual.
“Kehidupan” yang dituliskan pria kelahiran Madiun ini barangkali merupakan kehidupan yang tak jauh dari hidupnya. Kita akan menemukan banyak kosakata berbahasa Jawa pada tulisannya. Bahkan, beberapa kali kita akan menemukan konsep-konsep falsafah Jawa yang sangat erat dengan kehidupan ini.
Konsep yang kemudian dijelaskan dalam catatan penting adalah Cakra Manggilingan, sebuah konsep tentang perputaran waktu. Sebelumnya, konsep singkat kehidupan sudah muncul pada bab pertamanya.

“Engkau pasti akan kembali. Engkau pasti akan kembali. Mulih mula mulanira[1]. Suwung…”



***

Lebih jauh masuk ke dalam cerita,  Dua Tanda Kurung yang sentralnya ada pada Susiyantyana, seorang perempuan, janda, dan pemilik warung kopi yang jadi bahan pembicaraan warga desa Pandansari Kulon karena dianggap sebagai perempuan “nakal”. Dalam hidupnya, ia kerap “lari” dari kehidupannya dengan mengubah nama. Pada awal cerita, kita mengenalnya dengan nama Yanti, kemudian Susana, dan yang terakhir adalah Tyana. Akan tetapi, seperti lingkaran karma saja, meski sudah mengganti-ganti nama dan mencoba membuka lembar kehidupan yang baru, Susiyantyana tetap kembali pada kegelapan dan keresahannya.
Uniknya, Handoko menyisipkan permasalahan sosial untuk membangun cerita. Seperti pemilihan lurah yang membuat geger desa. Pun hal ini tidak hanya sebagai tempelan, tetapi sebagai unsur pembangun kehidupan dan alur cerita dalam Dua Tanda Kurung ini.

Begitulah kenyataan dalam setiap pemilihan orang nomor satu. Seperti yang pernah diceritakan para sepu dulu, yang membuat orang crah atau pecah itu tiga hal. Pertama harta, kedua tahta, dan ketiga wanita.

Pada akhirnya, kita akan melihat dalam kisah ini, tidak hanya harta dan tahta, bahwa wanita benar-benar bisa jadi faktor sebuah perpecahan dan kehancuran, baik itu kehancuran rumah tangga, maupun kehancuran jiwa seseorang—yang dialami oleh tokoh Sihyang. Permasalahan ini juga sebagai “pembuka” jalan yang memperlihatkan bagaimana pengabdian itu semestinya dilakukan. Seperti yang tokoh Dharma lakukan terhadap Pak Suryo.
Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan, ada pula  tokoh-tokoh bawahan yang mengantarkan pembaca pada inti cerita: Intan, Surtini, dan Lintang. Pada awalnya, tidak terlihat di mana simpul yang menyatukan cerita. Namun, Handoko ternyata sudah memikirkannya matang-matang. Saya merasa tidak ada tokoh yang hanya sekadar tempelan. Mereka semua yang hadir memiliki perannya masing-masing untuk menguak rahasia demi rahasia; tabir kehidupan Dua Tanda Kurung. Bahkan seorang kenek di terminal yang hanya muncul satu babak pun menyimpan tabirnya sendiri.

Dan, rumput pun menjadi bagian hiasan indah pohon
yang tegak berdiri
Tanpanya, keadaan terlihat gersang

Lagi-lagi mengutip sajak Handoko. Baginya, rumput pun memiliki makna. Sama seperti tokoh-tokoh yang dihadirkannya. Sekecil apapun perannya, ia adalah bagian dari cerita ini.

***

Kehidupan tak luput dari kesalahan, pun puisi kehidupan yang coba dirangkum Handoko dalam Dua Tanda Kurung. Mengutip tulisan Handoko:

… Tapi, apalah daya, dosa itu menjadi bagian dari kehidupan, seperti lukisan yang dipajang di tembok ruang, sebatas hiasan. Inilah yang sebenarnya hidup menurut saya.
Kalau semua orang baik, dunia berakhir, tapi juga kalau semua jelek, dunia hancur…

Memang, kehidupan harus seimbang, antara baik dan buruk, atau benar dan salah. Banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa kita resapi dari novel ini. Akan tetapi, banyak kesalahan yang luput dari perhatian. Dari permasalahan ejaan, hingga salah penyebutan nama tokoh.
Pada beberapa bagian, istilah-istilah dalam bahasa Jawa pun tidak didampingi dengan footnote. Yang perlu diingat adalah tidak semua pembaca khatam berbahasa Jawa. Hal sekecil ini dapat mengaburkan makna cerita. “Rasa” pembaca yang seharusnya bisa mencapai level yang lebih tinggi, menjadi turun karena harus mengerutkan dahi dan bertanya-tanya ‘apa artinya ini?’.
Selain itu, Handoko tampak terlalu terlena dengan kata-kata indah dan perumpamaan-perumpaan dalam narasinya. Handoko, dalam novel ini, dirasa masih terlalu asik dengan puisi-puisinya sendiri. Ia seperti “memaksa” pembaca untuk terjun dan hanyut ke dalam tulisannya. Hal tersebut perlu juga diperhatikan. Perumpamaan yang terlalu sulit bisa mengundang salah tafsir. Bukan hanya salah tafsir, bahkan pembaca bisa saja tidak paham sama sekali maksud yang disampaikan.  Jika hal itu terjadi, akan sayang sekali.

***

Membaca Dua Tanda Kurung adalah membaca kehidupan. Kita tidak tahu misteri apa yang ada di balik waktu yang terus beranjak; persis misteri dalam novel ini. Penerimaan dan nilai-nilai yang kita jalani dalam kehidupan, serta penerimaan atas novel ini, tentunya dapat dipetik kelak. 

Menganyam luka dan menjadikannya titik tolak
perubahan dan pencerahan bukanlah hal yang mudah.
Namun, jika kesadaran telah tertanam
maka kebahagiaan dan kebijaksanaan
bukanlah sebuah mimpi

-Handoko F. Zainsam




[1]Mulih mula mulanira = kembali ke awal mula (asal) mu.



Data Buku:

Zainsam, Handoko F. 2O16. Dua Tanda Kurung (I'm Still A Woman). Jakarta: Mata Aksara



Oleh Sekar Ayu Tantri
Juni 2016

Komentar

  1. Asik membaca ini... Makasih Sekar atas apresiasinya.

    BalasHapus
  2. Pak Handoko itu sekarang jadi penelitian saya sekarang di skripsi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pangeran dan Permennya

Koteka