Ulasan Film: Posesif | Suatu Pembelajaran

 



Sebait Kegelisahan

Tulisan ini dibuat bukan sebagai spoiler, tapi semata-mata hanya untuk ajang pamer bahwa saya sudah menonton film ini dan tentunya mengeluarkan kegelisahan saya. Awalnya saya tahu film ini dari teman saya. Oke, saya penasaran. Ernest Prakarsa, di instagramnya pada 26 Oktober 2017 menulis bahwa film ini layak diganjar 10 nominasi FFI 2017. Saya makin penasaran.  Bahkan, Ayudia Bing Slamet sempat menulis di instastory bahwa selama menonton film ini sama sekali tidak ingin mengkritik--sayang sekali saya tidak sempat mengcapture sebab sebelumnya saya tidak terpikir untuk memberikan ulasan seperti ini. Well..saya makin-makin penasaran. Berarti film ini, kan, bagus sekali? Ernest dan tentunya Ayudia, yang anaknya lucu sekali itu, ternyata memberikan dampak yang besar bagi saya. Pertama adalah ingin menonton dan kedua adalah ingin membantah pernyataannya tersebut. 

Menurut data yang diambil dari theatersatu, film yang rilis pada 26 Oktober 2017 ini sudah ditonton oleh 64.130 orang hingga 29 Oktober 2017. Sebagai penonton awam, saya tidak tahu apakah jumlah tersebut cukup besar, atau cukup kecil, atau sedang-sedang saja. Akan tetapi, bagi saya film ini cukup menarik untuk ditonton dan tentunya dikomentari. 

Dari segi bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Kemdikbud, posesif berarti bersifat merasa menjadi pemilik; mempunyai sifat cemburu. Bersumber dari makna harfiahnya, Posesif sudah menggambarkan hal tersebut. Dalam sebuah kisah asmara, beberapa pasangan berlaku posesif, seperti melarang pergi dengan si anu atau si anu, harus mengabari setiap saat, dan lain sebagainya, tetapi tidak sampai menyakiti pasangan--seperti yang dilakukan Yudhis kepada Lala. Bagi saya hal ini merujuk pada kelainan jiwa, lebih buruk dari posesif. Bukankah jika sayang tidak akan sanggup menyakiti? Mungkinkah film ini gambaran dari istilah "next level posesif"?  

Selain masalah makna dari judul film ini, ada dua hal lain yang membuat saya kepikiran dan ingin membantah pernyataan Ayudia yang telah saya sebutkan di atas. Pertama, adegan ketika Yudhis dan Lala bernyanyi di dalam mobil. Jika diperhatikan lebih teliti, ketika kamera mengambil gambar dari samping, seperti sedang berada di jalan raya. Dan ketika pengambilan gambar dilakukan dari belakang, tampaklah jalan tol. Entah saya keliru, tetapi hal tersebut cukup mengganggu saya. Beberapa saat saya tidak bisa menikmati Posesif. 

Kedua, ketika saya sedang asik menikmati kenelangsaan Lala berjalan di jalan tol, saya melihat petugas jalan tol di ujung jalan. Entah saya berhalusinasi atau saya keliru (lagi), namun jika benar, ini "kebocoran" yang membuat saya tersenyum dan tidak dapat menikmati film untuk kedua kalinya. "Mungkinkah petugas di jalan tol membiarkan perempuan cantik belia dengan wajah terluka dibiarkan berjalan di jalan tol sendirian?" inilah yang ada di pikiran saya.

Hasil gambar untuk film posesif poster
Sumber: https://www.bioskoptoday.com/film/posesif/


Terlepas dari ketiga hal tersebut, Ginatri S. Noer sebagai penulis skenario tampak lihai menyimpan teka-teki yang sangat besar. Antara plot dengan dialog terasa sangat padu dan rapi. Sang Sutradara, Edwin, dan timnya merealisasikan film ini dengan baik. Di samping itu Adipati Dolken memberikan sensasi romantis dan mencekam di saat bersamaan. Putri Marino, di film pertamanya ini, sanggup memberikan gambaran perempuan lugu yang baru pertama kali berpacaran, yang di lain sisi lelah dengan tuntutan ayahnya. Yang paling klimaks adalah Cut Mini. Bagi saya ia adalah salah satu legend  di kancah perfilman Indonesia. Menurut saya, film-film yang ada Cut Mini-nya layak ditonton. Pada Posesif, Cut Mini memberikan kesan yang sangat luar biasa. Setelah menonton film ini, saya makin yakin bahwa ia adalah aktris yang mumpuni.


Sebuah Pembelajaran

Posesif bukanlah film romantisme ala remaja yang biasa beredar, seperti kisah cinta anak SMA yang bahagia, lalu bosan, lalu putus. Atau dua sejoli yang harus pisah karena tidak direstui oleh orang tua, atau harus sekolah di luar negeri. Film ini lebih dari itu. Posesif adalah kisah trauma yang sangat mendalam, cinta yang--saya menyebutnya--sangat keterlaluan, kasih sayang yang antara sayang dan menyakiti sangat tipis perbedaannya. 

Posesif menyadarkan saya bahwa apa yang kita lakukan akan berdampak pada orang lain. Seperti yang dilakukan oleh ayahnya Yudhis, memberikan efek yang luar biasa pada mamanya Yudhis, dan kemudian memberikan efek yang luar biasa juga pada si anak, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Yudhis.

Film ini juga mengajari kita bagaimana memahami suatu keadaan dan memafkan, serta memaklumi orang lain, seperti yang dilakukan oleh Lala atas sikap Yudhis.

Lebih jauh dari itu, kita akan melihat sebuah kasih sayang yang begitu besar, baik dari ayah Lala maupun mama Yudhis. Ayah Lala awalnya memang menuntut anaknya untuk menjadi atlet renang yang hebat, meskipun tanpa disadari hal itu membuat Lala merasa tertekan. Sebenarnya sikap tersebut tumbuh karena ingin anaknya menjadi hebat dan memiliki kehidupan yang baik, bukan? Hal inilah yang kerap kali terjadi di kehidupan nyata: bagaimana orang tua membuat anaknya tertekan, padahal sebenarnya hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. 

Hal tersebut juga datang dari sikap mama Yudhis yang sebenarnya begitu mencintai anaknya. Ia tidak ingin kehilangan Yudhis dan ingin menunjukan bahwa hanya ialah satu-satunya orang yang mencintai Yudhis. Sebagai seorang ibu, ia ingin menunjukkan power yang begitu besar sampai tidak sadar justru merusak mental anaknya sendiri. 

Film ini seakan menjadi kritik bagi pemuda-pemudi Indonesia, yang sebenarnya banyak terjadi kekerasan dalam kisah asmara mereka. Juga kritik bagi orang tua yang menyalahgunakan kasih sayang dan titel "orang tua" demi masa depan si anak, atau demi perasaannya sendiri. 

Kesimpulannya adalah film ini menyenangkan untuk ditonton. Dan meskipun poster film yang terkesan hanya ditunjukan untuk remaja, tetapi juga sangat baik ditonton oleh para orang tua.



Sekar Ayu Tantri
2 November 2017
katyasekar@gmail.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pangeran dan Permennya

Koteka

Ulasan dan Kritik Buku: Dua Tanda Kurung | Puisi dalam Puisi Kehidupan Handoko F. Zainsam