Dongeng Tanpa Judul, Tanpa Ujung

Suatu pagi aku terbangun dan menemukan rumahku adalah kota besar nan megah
Gedung-gedung tinggi mencakar cakrawala nun jauh di sana
Aku hidup di kota besar, ingar-bingar adalah sarapan balita hingga lansia
Aku hidup di tengah kabut pekat yang begitu jauh dari debur ombak
Yang jauh dari biru yang paling biru

Anak-anakku hanya kusisakan cerita demi cerita tentang masa lalu yang jaya
Cucu-cucuku kuceritakan tentang orang-orang yang pernah merasa Berjaya
Mereka hanya tertawa dan mengira aku sedang mendongeng belaka
: tentang ombak
: tentang perahu
: tentang karang
: tentang laut
: tentang biru
: tentang..
: tentang ketenangan, tentang keindahan

Padahal ayahku kerap bercerita tentang ikan-ikan yang melompat kegirangan di pinggir perahu sederhananya
Padahal ibuku kerap bercerita tentang otot kakek bekas menjala ikan di samudra raya
Sedang aku hanya dikira sedang mendongeng kisah-kisah yang tak pernah ada

Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah bisa  

Lagu itu sering kunyanyikan untuk mengantar tidur anak-anakku
Barangkali khayalan tentang permainya laut membekas dan terbawa dalam tidurnya
Sering kudengar pula lagu itu dinyanyikan untk cucu-cucuku
Barangkali untuk mengajarkan bagaimana imajinasi itu tumbuh dan mawarnai tidurnya
IRONIS!

Pedih
Pedih ketika lagu itu hanyalah sebuah nyanyian tidur bagi anak-anak kita
Ketika lagu itu terlupa seiring waktu mengenang duka

Kini laut hanya sebatas lagu pengisi suka

Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda brani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai

Begitulah sekiranya keriangan yang masih pantas dielukan anak-anak kita di ujung-ujung pesisir
: memeluk cakrawala
: Menyambut ombak
: mengharu biru dengan biru yang paling biru

Dan pulang ke rumah


Mei 2016

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pangeran dan Permennya

Koteka

Ulasan dan Kritik Buku: Dua Tanda Kurung | Puisi dalam Puisi Kehidupan Handoko F. Zainsam